Judul : “Ngadu Bako” dalam Acara “Nyawang Bulan” Menjalin Silaturahmi dan Komunikasi Budaya Antar Komunitas
link : “Ngadu Bako” dalam Acara “Nyawang Bulan” Menjalin Silaturahmi dan Komunikasi Budaya Antar Komunitas
“Ngadu Bako” dalam Acara “Nyawang Bulan” Menjalin Silaturahmi dan Komunikasi Budaya Antar Komunitas
“NYAWANG BULAN” merupakan salah satu acara rutin yang digelar dikawasan Gunung Hampelas pada malam itu,Malam minggu 10 juni 2016 , hari ke 14 bulan Ramadhan 1438 H. Ada yang berbeda dari acara Nyawang Bulan sebelumnya yang telah bergulir rutin selama 5 event bulan purnama. Malam itu acara utama adalah “Ngadu Bako” ( dialog /diskusi) antar komunitas khususnya komunitas pelaku seni budaya kota Tasikmalaya dsk. Tidak kurang dari 50 orang yang hadir, baik perorangan maupun mewakili komunitas. Malam itu acara yang bersifat pertunjukan digeser ke sore hari dalam format “Ngalayung” atau dalam konteks Ramadhan ini berarti sambil ngabuburit.
“ Karena kami ingin menghayati suasana Ramadhan,kali ini acara nyawang bulan betul-betul bersifat kontemplasi, menyatu dengan alam dilakukan setelah buka bersama dan taraweh di tempat yang sama. Dilanjut dengan acara inti, dialog “Ngadu bako” sedangkan penampilan seni masih tetap ada yang dimunculkan dalam setiap jeda diskusi, dan tanpa menggunakan sound . yang menggunakan sound ya , tadi digeser ke acara ngalayung “.ujar Drs kusnandi alias Wa Engko, Ketua Bale Budaya Mahardika, Yayasan Padma Pertiwi Nusantara, (BBM-YPPN) sekaligus penggagas acara Nyawang Bulan didampingi Anggi Sri Wilujeng yang sedang mempersiapkan susunan acara dan menyiapkan konsumsi untuk Tajil. Di tempat lain ada Reza, The Uti dkk juga sedang sibuk mempersiapkan kebutuhan acara.
Acara Nyawang Bulan diselenggarakan oleh Bale Budaya Mahardika (BBM) salah satu departement kegiatan dari Yayasan Padma Pertiwi Nusantara, (BBM-YPPN) yang menginisiasi dan menjadi fasilitator kegiatan seni budaya yang berbasis komunitas . “Jadi, komunitas, Kelompok , Sanggar atau pelaku seni didalamnya adalah pengisi acara kegiatan rutin yang dalam hal ini program event tersebut dimenej secara khusus oleh Team dari Bale Budaya Mahardika,yang regulasi kepesertaannya diatur dan digawangi oleh Anggi Sri Wilujeng” tambahnya, sekaligus pernyataan ini ,meralat dan meluruskan tulisan/liputan LINTAS PENA edisi 174/tahun VII/Mei 2017. Tentang nama penyelenggara.
Ngadu Bako.
Istilah ngadu bako dalam nyawang bulan mengacu pada kearifan lokal masyarakat kita ketika berkomunikasi dalam rangka sekedar berbincang maupun merembugkan satu masalah dalam suasana yang egaliter dengan lebih mengedepankan silaturahmi, isi yang diperbincangkan bisa menjadi bernilai tertentu atau tidak jadi apa-apa, meski bisa jadi hanya obrolan kosong namun maknanya tetap bernilai yakni silaturahmi. “ Walau bukan definisi yang tepat , ya sederhananya Kira-kira begitu “ kata salah seorang panitia.
“Ngadu bako dalam acara nyawang bulan ini,semacam media ofline, supaya tidak bosen berbincang di dunia maya , media sosial yang nyata , terlihat , terasa, sekaligus sebagai bentuk perlawanan HoaX ,dengan berkomunikasi atau silaturahmi langsung ini , bisa saling berbagi rokok, kolek, kopi yang pasti terasa nikmatnya , apalagi ditemani suasana bulan purnama“tambahnya.
Hal yang menarik dari pertemuan ini adalah obrolan-obrolan ringan yang kemudian bisa menjadi mengerucut pada pembahasan tertentu, mungkin dalam kerangka inilah kegelisahaan dari tiap pikiran peserta bisa muncul tanpa disekat oleh keharusan bersandar pada keterikatan wilayah kerja atau bidang seni keahlian nya. Walaupun istilahnya Ngadu Bako, namun tentu saja ada tema yang disodorkan atau ditawarkan oleh panitia, yaitu pelesatarian seni budaya dalam konteks acara Nyawang bulan yang berbasis komunitas. Konteks besarnya, bagaimana peran seni budaya bangsa mampu menjadi pilar pertahanan jati diri bangsa .
Pelestarian, seperti dikemukakan kang Towew seniman karinding yang menyoal pentingnya seni karinding dilestarikan dan harus berkembang .Kemasannya bisa saja misalnya berkolaborasi dengan unsur seni lainnya ,bahkan dengan seni modern sekalipun , seperti yang dilakukan oleh karinding Attack nya Manjasad. Tapi persoalan intinya bagaimanapun pilihannya mau konvensional atau kolaborasi dengan seni modern , intinya seni karinding harus dijaga kelestariannya, supaya layak dicintai oleh para generasi muda berikutnya, tidak menjadi trend sesaat imbuhnya. Yang diamini oleh Orok Kappas, menurutnya biarkan pilihan cara pelesatariannya, diserahkan pada pelaku seninya, “ Yang penting ,jati jeung junti bisa jatukrami “. begitu simpulnya.
Kegelisahan, kalau boleh disebut demikian juga dikemukakan oleh wa Salim dari komunitas film,yang terlibat dalam film yang mengangkat tokoh KH. Zenal Mustafa seorang tokoh panutan masyarakat sunda . Bahwa dalam rangka memperkuat jati diri bangsa , seni budaya, kearifan lokal perlu di sosialisasikan lebih luas lagi dan untuk itu ia ingin merangkul semua fihak untuk saling berfartisipasi saling mendorong upaya pelestarian kearifan lokal masyarakat sunda, agar , salah satunya melalui media film dengan mengenalkan tokoh masyarakat sunda, nilai-nilai kearifannnya bisa dikenal dan diamalkan oleh masyarakat dan generasi muda, “ Melalui silaturahmi ini, mudah-mudahan harapan kedepannya bisa lebih tersosialisasikan dan membuka peluang kerjasama yang harmonis dengan semua fihak, terutama dalam hal ini dengan para senima dan budayawan dan mayarakat umumnya. Hal senada juga dikemukakan oleh kang Akuy dari komunitas film Kreasinema salah satu yang terlibat dalam pembuatan film Uing yang didalamnya mengangkat kearifan lokal. Serta filosofis silat sunda. “Kedepan bisa saja Film cerita yang diangkat lebih banyak lagi yang berdasarkan budaya atau yang bernuansa budaya “.
Dari percakapan diatas, diantaranya melahirkan peluang untuk bekerjasama antar pelaku seni maupun komunitas maupun keinginan untuk berkolaboras I, dengan satu kesimpulan yang senada seperti yang dimukakan oleh Nur Ahmad Rus yang selalu disapa aki , Irfan Mulyadi, Doni M nur, Ahmad Greg dan peter Hayat dll. yakni pentingnya komunikasi, dalam bentuk dialogis para pelaku seni atau komunitas untuk mewujudkan nilai-nilai pemahaman kebersamaan dalam konteks kesadaran bersilaturahmi. .Namun juga perlu penghayatan pemaknaan keberagaman agar menjadi pilar bagi dan untuk pemuliaan martabat kemanusiaan. Barangkali ini bisa disebut Premis-premis dari diskusi, Ngadu Bako dalam event Nyawang Bulan, karena masih ada tugas berikutnya yakni mengaplikasikan atau mewujudkannya. Seperti yang disimbolkan dalam Jam session tampilan seni dari berbagai komunitas diantaranya karinding sekar Pitaloka.Kido yang bermain kecapi, Greg suling, Peter bermain gitar, orok berpuisi, di sesi yang lain ada teteh Nia juru kawih muda dari komunitas Aprak Jagat yang merespon dengan tembang sunda tentang bulan purnama, (Ngabungbang)
Langit Cerah, Bulan terang tepat diatas kepala,malam itu para pelaku seni, seniman , budayawan dan semua larut dalam wujud musikal , silaturahmi dalam bahasa universal pulang membawa arti dan makna, Caang bulan 14 , yakni kasih sayang dan ketulusan. *** (AGUS SURYANA)
Demikianlah Artikel “Ngadu Bako” dalam Acara “Nyawang Bulan” Menjalin Silaturahmi dan Komunikasi Budaya Antar Komunitas
Sekianlah artikel “Ngadu Bako” dalam Acara “Nyawang Bulan” Menjalin Silaturahmi dan Komunikasi Budaya Antar Komunitas kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel “Ngadu Bako” dalam Acara “Nyawang Bulan” Menjalin Silaturahmi dan Komunikasi Budaya Antar Komunitas dengan alamat link https://datakerjapns.blogspot.com/2017/06/ngadu-bako-dalam-acara-nyawang-bulan.html